source: Pinterest |
Perjalanan ini masih lama, menembus batas kota, mengarungi belantara, bertemu satu-dua pemangsa, hingga bertaruh siapa yang paling lama. Waktu yang kami butuhkan separuh hari lagi, sebelum hari benar-benar gelap. Seorang wanita dengan dua anaknya, digendong dan duduk, melihat ke luar jendela, berapa lama lagi aku harus menunggu? Sekepal nasi teronggok disamping kami. Lebih dari sekedar yang diharapkan.
Laju bus tua ini tidak seperti harapan kami yang telah menunggu sepuluh hari untuk bebas dan lepas dari tekanan sana-sini. Terasa lama, tak berarti apa-apa. Onggokan pasir disekitar dihiasi fatamorgana yang terlihat bak oasis menjadi pemandangn kami selama melintas. Tiga puluh empat derajat bukan apa-apa.
Bintang fajar akan segera terlihat, waktu kami hampir habis, urung juga sampai. Namun harapan terlihat ketika seorang pria tua melambaikan tangannya kepada kami. Sorak sorai mengisi atmosfer bus yang sejak separuh hari yang lalu hening dan mencekam. Lima puluh meter, tiga puluh, dua puluh, dan sepuluh meter, semua pucat pasi bak akan diterkam sang buas. Pria itu bak bunglon di tepi gurun, berbeda di jarak dekat.
Tidak peduli sepuluh hari, lima hari, tiga hari, bahkan dua hari, sia-sia. Tangan-tangan itu berada di udara, memohon dan meraung ketakukan. Bus di ujung sana terbakar habis oleh gejolak amarah para ego. Satu-dua tembakan lepas dari larasnya, menggila menembus dada. Seberapa jauh harus berlari, karena kini hilang sia-sia.
Nadhira Fahrin, 22.31 WIB Bekasi, 6/13/2018.
Komentar
Posting Komentar