Source: Pinterest |
Setumpukan buku di pojok sana, hingga kain-kain ihram yang selalu berganti setiap tahunnya. Menunggu adalah makanan, memulai adalah senjata dan iman adalah amunisi. Riak takbir menggema di seluruh penjuru kota. 38 derajat tidak pula surut, bahkan hingga matahari tak lagi menampakkan diri. Tapi demi nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, perasaan gentar itu tak akan pernah berhenti, bahkan bila bumi mendingin dan langit terbubuh jutaan bintang.
Ada sepotong harga diri yang hilang bila kita mengingat-ingat bagaimana masa lalu yang kelam, karena indahnya masa lalu hanya diperoleh oleh orang-orang yang tak tahu rasanya hidup. Letih, keringat dan air mata tak habis-habisnya menyimbah sekujur tubuh dan dibuat terkapar telak oleh dosa dan kekejian. Bagaimana boleh lepas oleh tekanan dan ketakutan bila satu dua terkaman menjuru pada jiwa-jiwa yang lemah ini, jiwa-jiwa yang hilang arah dan tak tentu harus bergerak kemana. Di sepertiga malam menghabiskan waktu, memanjatkan doa, meminta sepenuhnya kekuatan agar teguhnya iman selalu berpihak pada pribadi yang tak kokoh ini.
"Bila dunia ini aku yang buat, akan kuratakan segala isinya, bila boleh disepanjang jalan yang kulihat hanyalah senyum tanpa kebohongan," sebutnya sembari mengemasi baju-baju yang akan ia bawa pergi, karena kemudian hari ruangan ini akan kosong, menyisahi perabotan Kayu Pukah.
"Itu bila kau bisa, tapi kau tidak boleh lupa bahwa ragamu yang banyak pendamba itu juga ada yang menciptakan, maka sudah jelas jawabannya bahwa itu terdengar mustahil," sedikit kelakar yang ditembakkan agar langit-langit tidak terlalu suram sore itu.
Dia pun sedikit tertawa, entah bagaimana dengan kondisi hatinya yang konon sedang tidak baik.
"Kawan, sedikit lagi perjalanan kita dimulai. Seperti yang kau sebut menit-menit yang lalu, besok lusa akan kita lihat senyum-senyum tanpa kebohongan di sepanjangn jalan, tapi jangan pula kau berpikir untuk membuat dunia, karena itu mustahil," Gelak kami pecah seketika.
"Baiklah, Tuan. Perjalanan kita masih panjang, masih ada jutaan kilo lagi yang perlu kita tempuh. Ini adalah awal, bukan akhir. Rumah kita selain jauh juga 'mubah' rasanya bila tanpa apa-apa kita pulang. Ayo kita mulai!"
Dengan semangat yang membara, kukatakan
"Ayo!"
Perjalanan dimulai.
"Tuanku Akhlakul Baiq lulus dengan pujian. Dimohon untuk maju ke depan" Tidak heran bila sekujur tubuh bergetar, seperti kejutan yang tak pernah didapatkan sebelumnya. Sepatah dua patah kata dilontarkan di atas mimbar yang telah dipakai oleh berbagai orang-orang hebat di dunia. Suatu kehormatan dan tidak sedikitpun penyesalan.
Tuan, banyak orang salah kaprah. Bukan, ia bukan seorang dengan gelimang pundi-pundi, bukan pula memiliki asal-muasal yang patut dibanggakan. Keinginannya kuat, menyebarkan kebaikan. Adalah agama sebagai orientasinya dalam hidup. Dunia hanya lah hal kecil yang pada dasarnya bukanlah ladang untuk memamerkan sesuatu. Misinya hanya satu, menyebarkan kebaikan.
Ini waktunya bagi dia untuk memulai segala niat. Meski harus berpisah dengan lembaga pendidikan tersohor yang merupakan kiblat agama ini, tapi ia sadar bahwa sebenarnya ini lah yang disebut kehidupan, menyebar kebaikan.
Kak Tuan, mari kita mulai!
TAMAT
--------------------
"Kak Tuan" merupakan series cerpen yang digarap oleh Nadhira Fahrin melalui blog pribadinya (disini). Nama Kak Tuan diambil dari istilah panggilan untuk pemuda yang pernah berhaji/umroh di daerah Lombok, Nusa Tenggara Barat. Mengisahkan tentang seorang pemuda agamais yang memiliki misi menyebarkan kebaikan ke seluruh dunia. Lulus dari sekolah agama di negeri Arab tak menyurutkan keinginannya untuk belajar lebih jauh lagi, seperti kata pepatah, "Tuntutlah ilmu hingga ke negeri Cina". Dalam perjalanannya ia akan menemui berbagai rintangan, ujian, dan kebahagiaan yang tak akan pernah bisa ia lupakan. Setiap minggunya series Kak Tuan memiliki cerita yang berbeda dan tentunya memiliki rasa yang berbeda pula.
Ikuti perjalanan Kak Tuan dalam menyebar kebaikan setiap hari Jumat pukul 18.00 WIB di dhiraphotoart.blogspot.com!
Komentar
Posting Komentar