source: pinterest |
"Selamat datang, mungkin ini balasan atas segala kacaumu padaku, dan karma atas sumpah serapahku," dalam hati.
Semakin malam semakin dingin suhu pendingin ruangan ini. Tak teringat untuk membawa baju tebal tempo hari ketika pulang ke rumah. Sebentar lagi akan dilanda flu bila tak segera diatasi, terlebih hujan deran yang tak kunjung henti sejak sore.
Kemarin sore, timku membawa kabar dari luar. Hampir setiap hari kabar berdatangan, sudah seperti jadwal minum obat, tiga kali sehari. Entah apa yang terjadi, namun sebagai ketua tim, anggotaku tampak merahasiakan sesuatu dariku. Aku dan tim yang berisi enam orang termasuk diriku sudah seperti layaknya teman lama, tidak ada namanya atasan-bawahan. Tapi, aku tetapklah aku ketika memimpin, tegas, sangar, tak kenal lengah, tak kenal terlambat. Dan kemarin sore untuk pertama kalinya aku menemukan dimana mereka membuat keputusan sendiri di balikku.
Mereka berjejer di depan meja kerjaku, tertunduk takut akan mengatakannya, karena sebelumnya tak ada rahasia diantara kita.
"Siang, mbak. Baru saja kami pulang dari lokasi penyelidikan. Kami minta maaf sebelumnya jik..." Kalimatnya terpotong, pupilku membesar, aku menatap bingung.
"Penyelidikan? Mana ada jadwal kalian siang ini. Seharusnya ada laporan terlebih dahulu sebelum kalian mulai. Setidaknya sepatah dua patah kata kalian kirimkan saya WA. Kacau. Ternyata kalian punya cara di belakang saya." Pitamku perlahan naik.
"Apapun yang kalian selidiki, entah itu sebesar kasus pembunuhan atau sesepele mencuri biji sawi, kalian harus pertanggung ja..." Kalimatku terhenti seketika. Dua orang dari mereka tiba-tiba berjalan kesampingku, memeluk erat lenganku, karena yang terjadi adalah,
"...Mbak, maafkan kami. Tidak sedikit pun maksud hati ingin menghianatimu, mbak." Sorot mataku lurus, pikiranku kosong, dan rongga dada ini terasa sesak bagai ditimpuk langit yang jatuh ke bumi. Ini semua tidak lain adalah ulahku dan hari ini aku temui karma itu
***
Seharusnya malam ini masih ada rapat yang perlu aku hadiri, terlebih aku adalah kunci dari rapat itu dan tanpa diriku keputusan tidak dapat ditarik. Namun, atasanku mengijikan aku untuk pulang dan sebagai penggantiku kupilih Haris, anggotaku. Pikiranku kosong awalnya, kemudian penuh oleh bebagai penyesalan, "mengapa aku tidak ini?" "Mengapa aku tidak itu?" dan setumpuk "mengapa" lainnya.
Segalas teh membuat diriku lebih baik. Ini membuatku berani untuk mengulik dokumen-dokumen lama, mengingat-ingat kembali kejadian serta lokasi, mencari yang belum terungkap, berharap itu cukup menjadi bekal esok bertemu segala penyesalan dan sakit hati. Aku benar-benar berdoa agar panjangnya malam sebagai penguat agar penjeknya siang esok tidak membuatku jatuh.
Ku rebahkan tubuhku, meringku bersama tangisan yang pecah, teringat betapa bodohnya aku, betapa aku hanya memikirkan ego dan menyerah kita hampir menggapai puncak. Besok adalah tugasku, juga tugas mereka lima orang lainnya. Aku harus kuat dan pintar dalam menempatkan diri. Sampai jumpa esok hari.
***
Bajuku sudah rapi. Kemeja putih dengan lengan yang dilipat tiga perempat, celana bahan yang mengembang di bawah, arloji di kanan dan gelang yang sudah lama tak kupakai. Rambutku yang sepundak lewat kuikat karena itu cukup mengganggu. Ada satu orang anggotaku yang menemani di ruangan ini, Asa namanya. Kami diterima di waktu yang sama, usia kami juga sama, namun latar belakang kami berbeda. Aku dan Asa sudah seperti saudara kembar, biarpun kami berbeda jabatan tidak mengurangi kedekatan kami sedikit pun, karena kami cukup pintar dalam menempatkan diri. Tadi malam, aku menangis sejadi-jadinya di telepon. Ia hanya ada lewat telepon, karena ia tahu bila ia datang ke rumahku akan membuatku semakin tersiksa. Ia partner terbaikku.
Empat orang anggota lainnya sedang dalam perjalanan menuju kantor, posisiku sudah siap, bahkan posisi ini sejak dua jam yang lalu tak pernah berubah. Duduk, tangan kanan terangkat, kaki kanan melipat, menindih kaki kiri dan menatap kosong ke arah laptop dengan kepala sedikit miring. Asa ada di belakangku, sesekali mengusap bahuku, ia begitu tahu kalau aku butuh penguat dalam kondisi seperti ini. Aku rasa ini adalah pertama kalinya ia melihatku seperti ini, karena selama ini yang banyak menghadapi kondisi seperti ini hanyalah dia.
Salah seorang anggotaku beserta dua orang dari tim lain telah masuk ke dalam ruang kontrol yang terletak di balik kaca di belakangku, menandakan dalam beberapa menit lagi aku akan mulai. Asa berjalan ke depanku, kemudian menggenggam kedua tanganku, menguatkan, sembari berkata pelan,
"Mbak, sebentar lagi ia akan datang. Aku hanya ingin bilang, berikan yang terbaik, tidak ada lagi yang perlu disesali setelah ini, karena ini akan segera berakhir." Ia mengusap tanganku, menatapku penuh harap, kemudian meninggalkan ruangaan 3x4 itu dan memberikan senyum simpulnya di ujung pintu, mengisyaratkanku untuk tetap kuat.
Ruang kontrol sudah siap, lampu ruanganku sudah cukup redup. Tak lama pintu itu terbuka. Inilah waktunya untukku melihat segala penyesalan dan sakit hati. Ia telah duduk, tangannya terikat, jarak kami hanya terbatas oleh meja. Lima menit sudah ia duduk, lima menit pula aku tak berkutik. Anggota di ruang kontrol telah berisyarat lewat penyuara kuping, "Hei, mulai lah! Ini bukan waktunya untuk berkencan. Ini adalah kasus! Cepat Selesaikan!". Akhirnya aku bersuara.
"Hai, sudah lama." Aku berucap santai, tidak seperti yang lainnya.
"Bagaimana dengan karirmu? Ku dengar banyak sekali yang mengajakmu untuk bekerja sama. Adikku bahkan berniat untuk bekerja sama denganmu. Ia telah menyiapkan banyak sekali materi untuk dipresentasikan di depanmu saat kamu nanti berada di Belanda, kebetulan ia saat ini sedang kuliah di Den Haag. Ia banting stir, sudah tidak minat lagi mempelajari kriminologi. Mungkin ia sudah menemukan jati dirinya setelah berthun-tahun mengikuti kakaknya," Aku tertawa kecil, dalam hati seperti melihat masa lalu.
"Ah ya, ku dengar kau baru pulang dari Jerman minggu lalu. Kau pasti melewati kampusku, kan?" Aku tergelak lagi, membayangkan betapa dahulu aku pernah bertengkar dengannya di tempat itu.
Beberapa detik setelah itu, tidak kusangka ia begitu spontan menjawabnya.
"Iya, aku bahkan ke sana minggu lalu," Mataku yang sebelumnya sama sekali tidak menatap, akhirnya terbangun.
Ia melihat ya arah tangan kiriku yang sedang berdiri memegang pulpen, seketika matanya seperti sedang mengingat sesuatu.
"Gelang itu masih ada. Aku pikir kau akan membuangnya malam itu," Wajahnya tertunduk. Aku rasa ia sedang menyesali segala perbuatannya.
"Beruntunglah bila kau ingat. Tapi, apa kau ingat berapa banyak tenaga yang habis, berapa banyak buih yang keluar dari mulutku hanya untuk mengingatkanmu agar di masa depan hal seperti ini tidak terjadi? Apa kamu tidak sadar seberapa besar beban yang kau pikul, berapa banyak kepercayaan orang di tanganmu, dan yang paling parah, apa kamu tidak sadar betapa sebentar lagi kamu akan berangkat ke negeri orang membawa nama tanah air dan namamu sendiri. An, sadar!! SADAR!!" Amarahku meluap. Kugertak meja di depanku begitu keras. Hilang kontrolku di ruangan itu.
"Sekarang aku tanya, An. Berapa banyak orang tak berdosa yang sudah kamu hancurkan selama ini? Sudah apa masih belum cukup untuk melampiaskan segala trauma masa lalu itu? Biadap!"
Ia hanya tertegun, tak ingin melihatkan wajahnya.
"Kau tahu, ibu dari korbanmu di Paris menelponku tiga hari yang lalu, anaknya tidak ingin pulang ke Indonesia karena ia takut jika sewaktu-waktu bertemu dengan mu. Bagaimana orang tidak takut bertemu denganmu, kau itu penjahat, kau iblis berwujud manusia, An!"
"An, malam ini, di ruangan sempit ini, izinkan saya mengungkapkan bahwa kamu adalah orang baik, tak sedikitpun ada jahat di hatimu. Sebagaimana aku terus mengingatkanmu beberapa tahun belakang, seperti itu rasa itu, An. Tak ada secuil pun niatku untuk membuatmu berada di tempat ini, karena aku tahu kau pasti akan berubah. An, kau ini sakit, maka jadikan yang lalu sebagai obat. Sejak dulu ini adalah tugasku sebagai teman hidup, tapi aku lepas itu karena aku sudah menyerah. Tapi akhirnya kita bertemu lagi, bertemu di tempat yang bahkan sejak tahun-tahun lalu sudah ku peringatkan, bila kau terus seperti itu, maka kau akan bertemu ruangan ini."
Pipiku basah, kuyup. Aku turut menyesali perbuatanku karena seharusnya aku berperan besar untuk mencegahnya menyesali perbuatannya. Aku menangis terisak-isak. Anggota di ruang kontrol kembali mengingatkanku untuk melanjutkan percakapan. Aku hanya bisa menangis menatap seisi ruangan.
"Terakhir dariku, sejak kita berpisah hanya untukmu doa kulontarkan. Ku putuskan untuk kembali ke Indonesia dan bekerja di tempat ini. Ini semua semata-mata aku lakukan hanya untuk melupakanmu dan mengusut berbagai kasus yang sama denganmu. Dan hari ini, kasus itu terangkat. Andora Abhitah, pemilik keinginan yang kuat dan pemberani, hadapilah 15 tahun penyesalan ini. Dan aku, Tanya Aryanta, perempuan berhati tegas akan terus menyesali segala keputusan ini."
Aku berdiri dari tempat dudukku, kupeluk tubuhnya yang lemas itu dan menyerukan kalimat perpisahan.
"Maafkan aku, tolong." Air mataku pecah dan ia juga. Ini kali pertama aku melihatnya menangis. Ia juga berkata di samping telingaku,
"Tolong lanjutkan introgasi ini, Tanya." Ia tampak mulai menyesali dan menyerahkan dirinya, apapun yang akan terjadi
Aku tidak kuat lagi untuk melanjutkan. Ku putuskan untuk melepaskan penyuara kuping dan melepaskan pelukanku darinya.
"An, aku harus pergi." Aku keluar dari ruangan. Semua orang di ruang kontrol terkujut. Aku masuk ke ruang kontrol untuk mengambil barang-barangku. Mataku sembab, aku ingin pulang. Mereka tampak kesal dengan apa yang aku lakukan.
"Aku harus pulang, ini berat untukku.Tolong gantikan aku"
Mereka cukup kesal, "Hei, Detektif Tanya! pekerjaanmu masih belum selesai! Hei!" Mereka meneriakkan namaku. Asa yang ada di ruangan ini menghentikan mereka dan akhirnya menggantikan pekerjaanku.
Malam ini adalah malam yang paling menyedihkan di antara malam yang pernah kulalui. Aku gagal menjadi pengingatnya. Aku memang tidak berhak, tapi itu lah rasa. Bahkan ketika ia telah berbuat kejahatan, atau ia telah memilih jalan yang salah, tidak akan terlihat salah.
Malam ini, biarkan air mata berlinang bebas, memeluk sakit hati, luka dan masa lalu, karena karma dan sesal telah bertemu satu sama lain. Hanya kenang sesaat, kemudian lupakan. Maka semua berakhir. Selesai.
Untuk An-ku, jangan sesali, biarkan malam ini menjadi malam terpanjang yang pernah kau temui. Biarkan pertemuan terakhir menjadi bayang-bayang yang terus kita tatap hingga lusa dan menjadi samsak yang terus kita pukul hingga hancur, pertanda semua rasa bersalah telah berlalu.
------------------------------------------------------------------
Nadhira Fahrin 11/21/2017 19.21
Indonesia
*p.s
Fiksi ini di tulis terinspirasi oleh salah satu kasus yang sedang hangat di permukaan. Menceritakan tentang seorang detektif yang menghadapi kasus mantan kekasihnya di ruang introgasi. Detektif tersebut saat berpacaran sudah berulang kali mengingatkan untuk berhenti melakukan perbuatannya. Karena telah meyerah, akhirnya ia memutuskan untuk pulang ke negara asalnya dan bekerja untuk mempelajari kejahatan yang dilakukan sang mantan kekasih dan berharap agar sang mantan tidak terjaring oleh kasus tersebut. Namun pada akhirnya sang mantan kekasih yang masih ia cintai tertangkap dan bertemu dengannya kembali. Di harapkan melalui cerita ini banyak hikmah yang dapat diambil. Sekian-
Komentar
Posting Komentar