"Bagaimana dia bicara ke kamu, responnya, dan setiap pertanyaan yang dia lontarkan ke aku dan teman-teman yang lain, indikasi kalau ada sesuatu," sembari ia meneguk cola yang hampir habis itu.
Kami duduk berhadapan, hampir lima jam menguras otak sebelumnya, ditutup dengan pertanyaan dan penuturannya mengenai fakta bahwa perasaan itu tidak bisa dibohongi. Pikirku ia seorang yang tak cocok untuk bertukar pikiran, tapi jelas tak cocok untuk dijadikan pasangan. Kami menjadi lebih dekat karena satu-dua bantuan yang aku mintai. Melakukannya tidak pula sulit namun butuh kesabaran. Tidak peduli apa orang mempertanyakan keberadaan kami yang sudah begitu lama di sini, jelas aku membutuhkan jasanya kala itu. Menjadi hutang budi hingga ke liang pemakaman.
Aku berulang kali, bahkan tidak jelas ini kali ke berapa, menanyakan apakah aku yang salah atau hanya aku yang menyalahkan diriku, berpura-pura merasakan perasaan benci dari berbagai sisi. Puding cokelat itu tersisa, tidak pula manis. Ia berusaha melanjutkan setiap pikiran yang ingin ia lontarkan.
"Aku pernah merasakan bagaimana ia attracted dengan gaya dan pembawaanmu, menanti setiap pertanyaan, karena satu saja tidak cukup, bahkan pernah pula terdengar bila ia mencari-cari jejakmu. Itu mudah padahal, hanya bicara denganku, akan kutunjukkan dimana keberadaanmu, tapi dia tidak."
Lanjutnya setelah tegukan cola lain,
"Sebenarnya ini perkara pikiran dan perasaan, bagaimana caramu mengontrol keduanya saja, itu kuncinya,"
Hingga ia lupa memberikanku waktu untuk berbicara, bahkan untuk satu kalimat saja.
"Dia, dan juga pastinya kau, punya cara masing-masing dalam mengutarakannya. Jangan pula kau salahkan dia yang tidak pernah memberi bentuk tanda apapun, kau tidak ingat minggu-minggu lalu ia bertanya satu dua hal padamu. Tingkat kepekaanmu rendah, ya" melontarkan kelakarnya yang khas.
Lagi-lagi, tak sekalipun celah menyanggah ia berikan.
"Sudahlah, ini hanya perkara mind set dan ketakutanmu yang dalam. Film-film psikologi itu sudah habis kulalap, siang malam. Aku tahu bagaimana perasaan kalian satu sama lain (saat ini). Oh, kamu harus ingat, ya, ini Feeling Education." gelaknya di akhir, menyadari istiahnya memiliki kemiripan dengan serial di sebuah media streaming.
Aku terkekeh sambil meneguk colaku yang hampir hambar bercampur es yang mencair. Akhir yang ditunggu dalam percakapan ini, seperti feeling education, memahami setiap perasaan dan kecemasan, menjadikannya pelajaran.
"Jadi, kesimpulannya, saat ini aku mendapat mata kuliah feeling education untuk 4 sks? Bentuk latihan sebelum suatu hari menjadi asisten dosen? Ini sudah hampir malam." aku berusaha membuatnya cerita tidak terasa hambar.
Cerita ini harus ditutup dengan rasa manis-sepat-asam-pahit dari cola yang tersisa seteguk.
"Yup, benar sekali, jangan lupa untuk membuka KUHP diiringi 'Slow Dancing in a Burning Room', ingat. Cheers!". Tegukan terkahir, cheers.
Nadhira Fahrin 3/21/2019
Nadhira Fahrin 3/21/2019
Awesome!
BalasHapusWog wog wog makasih anak pak Asad ^^
Hapus