source: pinterest |
Aku membawanya ke sebuah restoran tertutup setelah pertemuan kami itu. Kau dapat membayangkan bagaimana aku menelan makanan dihinggapi bayang-banyak kenyataan, bahwa kami harus menghadapi kesenjangan ini. Dilahirkan dari sekolah yang memiliki reputasi tinggi, dengan lulusan yang kompeten dibidangnya, siapa yang menyangka jalan kami berbeda. Siang itu, setelah kelulusan adalah momen terakhir kami bertemu. Ia memelukku yang masih tomboy kala itu dan berjanji akan mendukung masa depanku, tapi siapa yang tahu yang akan ia hadapi bahkan lebih buruk dari apa yang kuhadapi.
Kami memesan dua cangkir kopi, dua piring bubur dan pencucui mulut, mengingatkanku akan ia yang tidak pernah lelah berbagi dan tentunya sabar dalam menghidupi diri. Wajahnya yang teduh, masih sama seperti lima tahun yang lalu. Panggung megah, riasan mahal dan kerlap-kerlip cahaya seperti mandi bagiku, diguyur oleh itu. Apa yang pernah kita ucapkan dulu, ketika nada yang tinggi membuat kami tertawa, mengekspektasikan sebuah mimpi yang tertanya tidak lahir. Apa yang ada dibayanganmu ketika semua mengekspos kehidupanku, dan dirimu hanya duduk disebuah petakan sempit, dengan televisi yang selalu berbagi, bermandi matahari, makan dengan sisa-sisa keringat, dan mengatakan pada duniamu bahwa aku pernah menjadi bagianmu.
Kisah ini lirih, ketika kau berdiri di atas sebuah panggung aneka ria dan aku harus menebak siapa di balik topi itu. Ketika kau membukanya, seperti itulah aku mengingat dengan cepat lima tahun yang lalu. Aku merasa bersalah atas keegoisanku. Dalam hati, "tidak seharusnya seorang aku berdiri sendiri dan melupakan yang lain,". Aku bukanlah seorang melankolis, aku akan menyimpannya hingga aku bertemu kamar dan meratapinya sendiri tanpa perlu belas kasih orang lain. Beberapa dari mereka mengetuk pintu kamarku, tetapi semua sia-sia karena ini perasaanku, bukan mereka.
"Aku banyak menghabiskan hari dari gedung ke gedung, mengangkat pipa-pipa besi, memberikan hiburan kepada teman-temanku setelah penat bekerja, dan tentunya mengkoleksi video konsermu, agar aku tetap memiiki motivasi dalam bekerja." Ia begitu lahap memakan bubur yang terhidang didepannya. Tidak ada selera makanku membayangkan bagaimana ia berjuang melepas mimpinya dan tunduk pada nasib.
Aku mengusap dahiku yang masih memikirkan keadaannya. Ini memang sudah lama, tetapi pertemuan ini tidak sesuai bayanganku.
"Ada apa dengan tanganmu, banyak baret dan luka. Apa kita perlu ke rumah sakit setelah ini?"
"Ah, ini adalah tanda perjuanganku. Aku bekerja bahkan hingga semua telah terlelap. Kau hanya perlu mengkhawatirkan dirimu yang terlalu padat dengan dunia hiburan. Sifatmu yang sangat mencemaskan orang lain benar-benar tidak bisa hilang." Ia tertawa dan terus menghabiskan makannanya.
Apa yang telah kulakukan sebagai sahabat ketika gemerlap mimpi telah menghampiri. Aku benar-benar dibuat lupa oleh kenyataan yang ada saat ini. Aku sungguh ingin tahu bagaimana perasaannya yang ada saat ini, ketika melihat sahabatnya sibuk di dunia yang seharusnya ia tempati.
"Mengapa kau harus menerima kehidupan seperti ini, sedangkan di depan sana ada begitu banyak kehidupan yang lebih baik dari sekedar ini," Tangisanku pecah, tidak kuasa menerima kenyataan.
"Ayah dan ibu memilki hutang di sebuah bank dan mereka harus menjual segalanya ketika tidak ada lagi harapan. Aku memang korban,tetapi tidak ada yang perlu dikhawatirkan selagi aku masih hidup. Ini tidak begitu buruk,"
Mangkuknya telah kosong, begitu pula dengan gelas dan piring di depannya. Hanya milikku yang masih terisi, bercampur air mata, tidak banyak. Ia menatapku lamat-lamat, menyelidiki sesuatu yang terjadi padaku. Ia masih ia yang sabar dan teduh.
"Hey, mengapa makanannya tidak habis? Apa kau ingin membawanya pulang? Biar aku yang membayar."
Seketika aku menegakkan kepalaku yang tertunduk, mencegah ia untuk membayar.
"Tidak, tidak, aku saja yang membayar. Kau cukup duduk dan menunggu. Atau kau ingin meminjam handphone-ku?" Aku tahu kebiasaannya memainkan handphone-ku sejak dulu. Ia pun memainkan handphone-ku. Betapa senang wajahnya menerima sesuatu yang bahkan aku dengan mudah mendapatkannya, tapi tidak untuk dia saat ini.
Air mataku kembali tumpah. Aku harus menghabiskan makanan ini, aku tidak boleh mubazir, karena sejatinya ini adalah apa yang dulu ingin aku dapatkan. Mungkin ia tahu mangapa tangisan itu mulai jatuh satu per satu. Ia mengusap rambutku dengan tangannya yang kasar dan keras, tidak seperti lima tahun yang lalu.
"Apa yang terjadi saat ini bukan keinginanmu, bukan inginku juga. Aku hanya berusaha 'menghidupkan' yang 'mati'. Tidak ada yang perlu kau cemaskan ketika keadaan berangsur baik."
Tidak ada air mata di pipinya. Ia yang kuat dan tidak menyerah, hingga harus mengorbankan sesuatu yang seharusnya bukan miliknya. Hanya aku yang terus menyesali segala yang datang kepadaku.
Kami berpisah di sebuah persimpangan. Ia harus mengejar bus terakhir malam ini. Ia harus kembali ke 'rumahnya' untuk esok hari menjemput bulir-bulir keringat demi hari-hari yang akan ia lewati. Tumpukan besi-besi di atas gedung itu telah menunggunya untuk datang dan membangun harapan-harapan baru. Entah akan bagaimana lusa ia bernasib, tetapi mimpi-mimpi itu akan terus terukir oleh kesabaran. Ketika ia tetap sabar menerima kenyataan, mengikhlaskan yang tidak seharusnya pergi dan membuat janji untuk akan bersamaku di atas sebuah pertunjukan, janji itu akan ditebus dengan kesabaran dan keikhlasan yang telah ia bangun selama ini.
Ia melambaikan tangannya ke arahku. Sebuah bus telah menunggunya. Ia pergi dan akan kembali dengan begitu banyak kemenangan dan euforia yang berkecamuk dalam dirinya. Ia, pelajaranku.
(Probably) bersambung......
Nadhira Fahrin 2/28/2018
-------------------------------------------------------------------------------------
Komentar
Posting Komentar