"Bagaimana dia bicara ke kamu, responnya, dan setiap pertanyaan yang dia lontarkan ke aku dan teman-teman yang lain, indikasi kalau ada sesuatu," sembari ia meneguk cola yang hampir habis itu. Kami duduk berhadapan, hampir lima jam menguras otak sebelumnya, ditutup dengan pertanyaan dan penuturannya mengenai fakta bahwa perasaan itu tidak bisa dibohongi. Pikirku ia seorang yang tak cocok untuk bertukar pikiran, tapi jelas tak cocok untuk dijadikan pasangan. Kami menjadi lebih dekat karena satu-dua bantuan yang aku mintai. Melakukannya tidak pula sulit namun butuh kesabaran. Tidak peduli apa orang mempertanyakan keberadaan kami yang sudah begitu lama di sini, jelas aku membutuhkan jasanya kala itu. Menjadi hutang budi hingga ke liang pemakaman. Aku berulang kali, bahkan tidak jelas ini kali ke berapa, menanyakan apakah aku yang salah atau hanya aku yang menyalahkan diriku, berpura-pura merasakan perasaan benci dari berbagai sisi. Puding cokelat itu tersisa, tidak pul...